Rabu, 22 Juli 2009

Isra' Mi'raj

Malam itu, tepatnya pada malam 27 Rajab, tahun ke-11 Hijriah atau tahun 622 Masehi, sekitar 1387 tahun yang lalu, langit malam cerah oleh sinar rembulan dan cahaya bintang-bintang. Di malam itu, ketika semua orang terlelap dalam tidurnya, seorang manusia pilihan, Nabi Muhammad S.A.W. melakukan perjalanan yang panjang, menembus waktu, melampaui kecepatan cahaya dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Jerusalem, lalu naik ke langit sampai ke langit ketujuh, hingga kembali lagi ke Mekah pada malam itu juga sebelum waktu subuh menjelang. Peristiwa yang fenomenal itu kemudian dikenal sebagai Isra’ Mi’raj.

Kata Isra’ berasal dari akar kata bahasa arab : Asra, Yusri, Isra yang bermakna berjalan di waktu malam. Mi’raj berasal dari kata : A’raja, Yu’riju, Mi’raj yang bermakna naik ke atas, maka makna Mi’raj adalah alat atau masa untuk naik.

Setiap peristiwa, apalagi peristiwa yang luar biasa sebagaimana Isra’ Mi’raj ini tentu ada pesan, makna, atau hikmah yang ingin disampaikan oleh Sang Penyebab Pertama, Allah S.W.T. Hikmah tersebut bisa kita peroleh dalam berbagai perspektif, seperti misalnya hubungan horizontal dan vertikal. Perjalanan Nabi dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Jerusalem bisa kita pahami sebagai simbol hubungan horizontal antar sesama makhluk Tuhan, sedangkan perjalanan Nabi ke langit untuk berjumpa dengan Allah S.W.T dapat kita pahami sebagai simbol hubungan vertikal antara makhluk dan Tuhannya. Manifestasi dari makna vertikal adalah menjalankan shalat lima waktu sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan melalui Nabi pada malam itu, sedangkan manifestasi makna horizontal adalah melakukan interaksi atau hubungan yang harmonis antara sesama makhluk, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.

Dalam fenomena keseharian, banyak dijumpai orang yang lebih menekankan mi’raj (hubungan vertikal dengan Tuhan) dengan melakukan banyak ibadah sampai pada batas ekstrim, sementara tuntutan isra’ (hubungan horizontal dengan sesama makhluk) terabaikan. Padahal ajaran agama pada prinsipnya menuntut keseimbangan antara kesalehan sosial dengan kesalehan individual demi kebahagiaan dunia dan akhirat. Demikianlah, semoga kita termasuk orang-orang yang pandai mengambil hikmah dibalik semua fenomena yang ada. InsyaAllah.