Senin, 14 September 2009
Penyakit Kalbu
Lantas seperti apa saja penyakit hati atau kalbu itu?
Allah S.W.T. dalam Al-Quran menjelaskan ciri-ciri orang yang menderita penyakit hati, yaitu :
“Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan, maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran : 120).
Penyakit hati atau kalbu menurut para ulama antara lain adalah sifat iri hati, dengki, dendam, angkuh, egois, emosional, tamak, buruk sangka, dan suka bergunjing. Orang yang hati atau kalbunya sakit akan menjadi susah melihat orang lain senang dan senang melihat orang lain susah.
Orang yang sedang mengidap penyakit kalbu tidak akan rela melihat kelebihan atau prestasi orang lain. Apabila ada seseorang yang memiliki kelebihan atau prestasi yang lebih baik darinya, maka dia akan sibuk mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang itu, menyudutkannya, bahkan kalau perlu melakukan fitnah yang keji terhadapnya. Ketika orang itu terkena dampak buruk dari fitnahnya, maka dia akan senang dan puas atas perbuatan buruknya itu.
Penyakit iri hati, dengki dan dendam ini membuat kita kehilangan perasaan tentram. Orang yang iri hati tidak bisa menikmati kehidupan yang normal karena hatinya tidak pernah bisa tenang sebelum melihat orang lain mengalami kesulitan. Dia akan melakukan berbagai hal untuk memuaskan rasa iri hatinya. Bila dia gagal, dia akan menjadi frustrasi yang tentunya akan menimbulkan gangguan psikologis. Gangguan psikologis itu akan berpengaruh pada kesehatan fisik, dia akan menjadi stres berkepanjangan.
Berdasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan oleh para ahli jiwa, ditemukan bahwa orang-orang yang stres berkepanjangan akan mengalami gangguan pada sistem immune atau sistem kekebalan dalam tubuhnya, akibatnya orang yang banyak mengalami stres cenderung gampang sekali terkena penyakit.
Hal tersebut sangat sesuai dengan sabda Rasulullah S.A.W. berikut ini :
“Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila ia jelek, maka jeleklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Allah sangat melarang kita untuk mempunyai sifat iri hati sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran :
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Bagi seorang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa: 32).
Rasulullah Muhammad S.A.W. juga pernah bersabda :
“Jauhilah olehmu sekalian sifat dengki, karena dengki itu memakan segala kebaikan seperti api melalap kayu bakar.” (HR. Abu Dawud).
Khalifah Ali bin Abi Thalib R.A. juga pernah berkata bahwa tidak ada orang zalim yang menzalimi orang lain sekaligus menzalimi dirinya sendiri, selain orang yang dengki atau iri hati.
Kini jelaslah sudah betapa buruknya penyakit hati atau kalbu ini. Segala pahala kebaikan kita dapat hilang begitu saja hanya karena sifat dengki. Setelah kita menyadari penyakit yang ada di dalam hati atau kalbu kita, maka langkah berikutnya adalah mengobati penyakit itu. Obat atau terapi yang paling mujarab tentu adalah berpuasa, selain berpuasa di bulan Ramadan, kita dapat berpuasa sunnah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Dengan berpuasa, kita akan mampu mengendalikan hawa nafsu kita, bukan hanya nafsu makan dan minum, akan tetapi juga nafsu amarah, nafsu akan harta, nafsu seks, nafsu jabatan, dan lain sebagainya.
Obat lainnya adalah tidak banyak bicara, terutama untuk hal-hal yang tidak perlu dan bergaul hanya dengan orang-orang yang sehat kalbunya, sebisa mungkin kita membatasi pergaulan kita dari orang-orang yang menderita penyakit hati agar kita tidak tertular. Satu lagi terapi yang paling mujarab tentunya adalah senantiasa memandang hidup ini dengan positif, bahwa sesungguhnya manusia tidak ada yang sempurna dan setiap orang diberikan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, maka semestinya kita saling tolong-menolong dan melengkapi.
Dengan senantiasa berpikir positif, maka kita akan memandang orang lain yang mempunyai banyak kelebihan ketimbang kita, bukan lagi sebagai saingan atau musuh yang harus disingkirkan, akan tetapi sebagai teman yang dapat kita ajak untuk bekerja sama untuk kebaikan dan saling melengkapi kekurangan masing-masing. Dengan selalu berpikir positif, diharapkan kita akan dapat menjadi manusia yang sehat jasmani dan rohani karena dalam jiwa yang sehat terdapat tubuh yang kuat. Semua itu pada akhirnya akan membentuk kita menjadi manusia yang selalu rendah hati, sabar, ikhlas menerima kelebihan orang lain, hidup sederhana, optimis, dan bertawakkal. Semua hal-hal yang baik itu akan menjadi bekal buat kita di akhirat kelak ketika kita menghadap-Nya, Tuhan semesta alam. InsyaAllah.
Rabu, 22 Juli 2009
Isra' Mi'raj
Malam itu, tepatnya pada malam 27 Rajab, tahun ke-11 Hijriah atau tahun 622 Masehi, sekitar 1387 tahun yang lalu, langit malam cerah oleh sinar rembulan dan cahaya bintang-bintang. Di malam itu, ketika semua orang terlelap dalam tidurnya, seorang manusia pilihan, Nabi Muhammad S.A.W. melakukan perjalanan yang panjang, menembus waktu, melampaui kecepatan cahaya dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Jerusalem, lalu naik ke langit sampai ke langit ketujuh, hingga kembali lagi ke Mekah pada malam itu juga sebelum waktu subuh menjelang. Peristiwa yang fenomenal itu kemudian dikenal sebagai Isra’ Mi’raj.
Kata Isra’ berasal dari akar kata bahasa arab : Asra, Yusri, Isra yang bermakna berjalan di waktu malam. Mi’raj berasal dari kata : A’raja, Yu’riju, Mi’raj yang bermakna naik ke atas, maka makna Mi’raj adalah alat atau masa untuk naik.
Setiap peristiwa, apalagi peristiwa yang luar biasa sebagaimana Isra’ Mi’raj ini tentu ada pesan, makna, atau hikmah yang ingin disampaikan oleh Sang Penyebab Pertama, Allah S.W.T. Hikmah tersebut bisa kita peroleh dalam berbagai perspektif, seperti misalnya hubungan horizontal dan vertikal. Perjalanan Nabi dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Jerusalem bisa kita pahami sebagai simbol hubungan horizontal antar sesama makhluk Tuhan, sedangkan perjalanan Nabi ke langit untuk berjumpa dengan Allah S.W.T dapat kita pahami sebagai simbol hubungan vertikal antara makhluk dan Tuhannya. Manifestasi dari makna vertikal adalah menjalankan shalat lima waktu sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan melalui Nabi pada malam itu, sedangkan manifestasi makna horizontal adalah melakukan interaksi atau hubungan yang harmonis antara sesama makhluk, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.
Dalam fenomena keseharian, banyak dijumpai orang yang lebih menekankan mi’raj (hubungan vertikal dengan Tuhan) dengan melakukan banyak ibadah sampai pada batas ekstrim, sementara tuntutan isra’ (hubungan horizontal dengan sesama makhluk) terabaikan. Padahal ajaran agama pada prinsipnya menuntut keseimbangan antara kesalehan sosial dengan kesalehan individual demi kebahagiaan dunia dan akhirat. Demikianlah, semoga kita termasuk orang-orang yang pandai mengambil hikmah dibalik semua fenomena yang ada. InsyaAllah.